Melihat Koleksi Bersejarah Watu Cantheng Di Dekat Kompleks Raja Mataram
Banyak terdapat peninggalan sejarah pada masa Kerajaan Mataram Islam di Jogja yang masih dijaga kelestariannya hingga saat ini. Peninggalan tersebut merupakan warisan atau cagar budaya yang memang hendaknya dipelihara dengan baik oleh masyarakat Indonesia sebagai generasi penerus agar tidak melupakan sejarah. Salah satu situs yang itu adalah Watu Cantheng.
Lokasi Watu Cantheng
Keberadaan situs Watu Cantheng berada satu lokasi dengan Watu Gilang Kotagede berada di Desa Jagalan. Lokasinya sangat dekat dengan keberadaan makam Raja- Raja Mataram Kotagede yaitu makam Penambahan Senopati dan Ki Ageng Pemanahan dan juga dekat dengan Wringin Sepuh. Biasanya pengunjung yang berziarah ke makam raja mampir untuk melihat situs ini.
Dari pusat Kota Jogja lokasinya sangat mudah ditemukan dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Bila pengunjung kesulitan menemukan lokasi maka bisa mengandalkan bantuan Google Maps.
Sejarah Watu Cantheng
Menurut sumber yang menjabarkan cerita dari kitab Babad Tanah Jawi mengatakan bahwa Watu Cantheng adalah alat permainan salah putra dari Panembahan Senopati yang bernama Raden Ronggo. Raden Ronggo dikenal sebagai seorang yang sakti mandraguna. Watu Cantheng atau bisa disebut juga dengan Watu Gatheng dan Watu Kumlasa yang berat dan besar dimainkan dengan mudah oleh Raden Ronggo dengan cara dilempar- lempar ke atas. Dikisahkan pula karena kesaktiannya batu- batu tersebut bisa berubah menjadi lunak ketika dipegangnya. Namun kemudian menjadi keras kembali setelah ditegur oleh Ki Juru Mertani.
Namun, cerita tentang kegunaan Batu Gatheng ini ternyata ada dua versi. versi yang pertama adalah sebagai mainan Raden Ronggo seperti yang dituliskan pada penjelasan di area situs. Sedangkan versi yang kedua adalah batu tersebut merupakan peluru Meriam Pancaruwa dari Kraton Surakarta yang akan dibawa ke Batavia untuk menyerang VOC. Masa itu terjadi ketika pemerintahan Sultan Agung. Namun rencana itu tak jadi dilakukan.
Keadaan Watu Cantheng
Watu Cantheng yang terdapat di situs itu berjumlah tiga buah batu dengan ukuran yang berbeda- beda. Dua buah batu berukuran seperti bola sepak, sedangnkan yang kecil berukuran seperti buah kelapa atau lebih tepatnya berukuran 15cm. Batu- batu tersebut berbentuk hampir bulat sempurna berwarna coklat kekuningan. Kini batu tersebut diletakkan di atas wadah yang juga terbuat dari batu yang ditatah untuk alas berwarna hitam. Di atasnya sering terlihat diletakkan bunga setaman diantara ketiganya.
Suasana di Situs Batu Cantheng
Memasuki lokasi situs, terdapat papan petunjuk yang menyatakan tentang informasi mengenai keberadaan benda- benda tersebut. Di awal petunjuk yang tertulis adalah Batu Gilang dan Batu Gatheng peninggalan Kraton Mataram 1509. Kemudian masuk ke dalam ruangan terdapat informasi mengenai nama benda peninggalan tersebut yaitu Batu Gilang, Batu Gatheng, dan Batu Genthong beserta penjelasan fungsinya.
Batu cantheng tersimpan di satu lokasi dengan Watu Gilang berada dalam satu bangunan tembok kecil tertutup. Bangunan tempat untuk menyimpan tiga peninggalan tersebut berukuran kurang lebih seluas 15 m2. Lokasi ini masih dirawat dengan baik oleh sang juru kunci. Biasanya bangunan ini dibuka dan dibersihkan secara berkala. Pada hari tertentu seperti malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon tempat ini banyak didatangi oleh pengunjung. Mereka pada umumnya datang untuk berziarah. Untuk berziarah terlebih dahulu harus meminta ijin kepada juru kunci.
Terdapat Situs Lain
Lain halnya dengan Segoroyoso yang kental dengan sejarah perjuangan bangsa paska kemerdekaan. Situs ini memiliki sejarah pada jaman Kerajaan Mataram. Selain Watu Cantheng terdapat dua situs lain yang bisa dilihat oleh pengunjung yaitu Watu Gilang dan Watu Genthong.
Sejarah singkatnya Watu Gilang adalah merupakan singgasana Panembahan Senopati saat menjadi Raja Mataram. Konon ada kisah bahwa di singgasana ini Panembahan Senopati membenturkan kepala Ki Ageng Mangir ke Watu Gilang ketika sungkem kepadanya.
Sedangkan Watu Genthong memiliki sejarah sebagai tempat menyimpan air wudhu Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring. Pada permukaan terdapat bekas tusukan jari oleh Raden Rangga yang marah kepada Ki Juru Mertani karena telah dinasehati.